Pada hari Minggu kemarin saya diajak dan mengajak teman saya, sang Menteri Sejarah dan Kebudayaan kota Solo pergi jalan-jalan. Saya jemput dia jam 5 pagi buta di kosnya. Saya sudah mandi, dan dia belum! Padahal yang lebih malas mandi itu biasanya sebenarnya saya. 🙂
Tujuannya adalah ke Jembatan Petekan dan Pelabuhan Tradisional Kalimas yang letaknya memang berdekatan. Dengan berbekal peta Surabaya, kami pun berangkat. *ciee kayak mau pergi kemana aja lagaknya.. Jalan terakhir yang saya kenali adalah di kawasan Ampel. Selanjutnya saya cuma ikut arahan peta dan tiba-tiba jembatan tadi sudah kelihatan di depan mata. Jangan ditanya, sudah pasti saya tidak bisa kalau disuruh mengulang pergi ke sana sendirian.
Jembatan Petekan yang dulunya bisa diangkat dan diturunkan itu di zaman keemasannya merupakan pintu masuk ke kawasan Surabaya buat kapal-kapal barang yang akan bongkar-muat barang di kawasan Kembang Jepun. Tapi karena adanya pendangkalan sungai dan si Jembatan tadi makin rapuh, maka dibangun lagi jembatan beton di kanan kirinya. Nasib si Jembatan tadi mengenaskan, aspalnya mulai runtuh ke sungai, dan bentuknya jadi ambigu karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana rupanya waktu masih beroperasi. Sumpah saya masih curious, tapi saya cari-cari foto nya di Granpa Google juga nggak ada. 😦
Lalu kami pergi ke Pelabuhan Tradisional Kalimas. Parkir mobil di Rumah Sakit PHC Tanjung Perak dan menyeberang jalan masuk pelabuhan yang nggak ada papan namanya. Pelabuhan ini sekarang dipakai untuk bongkar muat kapal tongkang dan perahu. Perahunya WOW! Seperti di cerita Malin Kundang! Dari kayu dan lain-lain (meskipun tanpa layar), pokoknya tradisional lah. Meskipun ada beberapa yang sudah cakep dan berperadaban abad 21 (oh please, bahasanya).
Waktu itu kami kesiangan, jadinya panas naudzubillah. But look at the sky! So bright and blue!
Jadi sebaiknya kalau pergi ke sana pagi-pagi sekitar pukul 6 atau 7. Tapi nggak tau juga sih, jam segitu pintunya sudah dibuka atau belum.
Ceritanya nih, dulu di sekitar Kalimas terjadi pertempuran antara Suro (sejenis ikan besar) dengan Boyo (buaya) untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Tapi akhirnya keduanya mati, sehingga timbul sebutan Surabaya. Karena air sungainya berubah merah, makanya jembatan yang ada di dekat sana dipanggil Jembatan Merah.
Walah, itu jembatan petekan, harusnya kalo dirawat bisa bagus ya… 😦 Sayang banget, peninggalan jaman dulu, gak terrawat, sekarang malah di bawahnya penuh sampah, airnya kotor, hitam… 😦 😦 Padahal saya yakin itu bisa jadi semacam simbol. 😐
iya iya betul! temanku itu sampek emosi sendiri kalo lihat kota tua nya Surabaya. seharusnya bangunan tua itu nggak hanya difungsikan, tapi juga dirawat. *lho kok saya yang jadi menteri sejarah dan kebudayaan*
kondisi bangunan lama surabaya memang kurang diperhatikan.
lihat saja keadaan makam peneleh. hampir semua makam dirusak pencuri yang ingin mengambil harta yang menempel pada jenazah, kemudian makam rusaknya dibiarkan begitu saja.
padahal makam belanda yang ada di jakarta, begitu terawat sehingga dijadikan lokasi wisata. disini? yang ada malah lokasi jemur2 pakaian.. *ngenes*
Eh di jalan menuju malang ada kan pemakaman cina yang juga sampek dibikin wisata. Apa ya namanya saya lupa. Kalau dari surabaya letaknya di sebelah kiri jalan. Penasaran nih pengen ke sana, masak wisata kok ke mall terus, nggak shopping pula. Memalukan. 😀